Dalam rangka meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sesuai dengan nawacita ke-6, sepertinya perlu segera diwujudkan. Untuk mencapai amanah tersebut, pemerintah Indonesia dipandang perlu berpikir matang sehingga dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi dalam bentuk tenaga kerja terampil. Apalagi setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak awal tahun 2016 lalu sehingga banyak tenaga kerja asing yang masuk ke wilayah Indonesia.
Peran Kemdikbud dianggap sebagai
penentu kebijakan dalam rangka mewujudkan tenaga kerja terampil melalui pendidikan
kejuruan dalam bentuk Sekolah Menegah Kejuruan (SMK). SMK sebagai lembaga penyelenggara program pendidikan kejuruan tentunya berkaitan erat dengan
ketenagakerjaan. Dimana tujuan utama penyelenggaraan pendidikan SMK adalah
menciptakan lulusannya sebagai tenaga kerja terampil sesuai dengan bidang
keahlian. Disamping itu, lulusan SMK juga diharapkan dapat terserap oleh pasar
kerja, dalam hal ini Dunia Usaha/Dunia Industri
(DU/DI).
Sejatinya
dengan kian berkembangnya SMK selama ini, semestinya angka Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) yang terjadi di Indonesia harus semakin berkurang. Namun
ironisnya, justru sampai saat ini masih banyak lulusan SMK yang belum terserap
oleh pasar kerja sehingga hanya menambah angka TPT saja. Realita permasalahan
yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini, angka TPT dari lulusan SMK tidak
hanya semakin meningkat, tetapi juga tertinggi jika dibandingkan dari lulusan
lain.
Menurut
data dari BPS Pusat, jumlah
angkatan kerja pada bulan Agustus 2017 meningkat sebesar 2,62 juta orang sehingga
menjadi 128,06 juta orang dibandingkan pada bulan Agustus 2016 lalu. Sementara
jumlah pengangguran bertambah sebesar 10 ribu orang sehingga menjadi
7,04 juta orang atau 5,5% dari jumlah angkatan kerja. Berdasarkan tingkat
pendidikan tertinggi yang ditamatkan, angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ternyata
dari lulusan SMK. Pada bulan Agustus 2017, pengangguran dari lulusan SMK mencapai
11,41%.
Faktor
penyebab tidak terserapnya lulusan SMK oleh pasar kerja yaitu masih banyak
lulusan SMK yang dinilai ‘kurang berkualitas’, dalam arti rendahnya keahlian
dan keterampilan yang dimiliki lulusan SMK. Apalagi tidak adanya sertifikasi
bagi lulusan SMK sebagai bukti kelayakan tenaga kerja terampil.
Faktor
penyebab lain tidak terserapnya lulusan SMK oleh pasar kerja yaitu antara
kompetensi yang ditawarkan oleh pemerintah dengan kebutuhan tenaga kerja yang
diminta pasar kerja dinilai ‘belum relevan’. Hal ini berdampak pada terjadinya kesenjangan antara jumlah
lulusan SMK dengan jumlah peluang kerja yang tersedia.
Fenomena
paradoks di atas merupakan tantangan besar bagi Kemdikbud yang kini berupaya menambah
jumlah SMK di Indonesia. SMK sebagai lembaga penyelenggara
pendidikan kejuruan, semestinya dapat memfasilitasi lulusannya untuk siap
kerja. Namun ironisnya, banyak lulusan SMK yang belum terserap oleh pasar kerja.
Inilah anomali yang terjadi pada sistem pendidikan kejuruan di SMK sehingga
perlu adanya revitalisasi.
AKREDITASI,
STANDARISASI, DAN SERTIFIKASI
Program
akreditasi merupakan bentuk penilaian kelayakan SMK yang sangat menentukan
tinggi rendahnya kualitas SMK. Namun sampai saat ini, kualitas SMK di Indonesia
masih dikatakan memprihatinkan. Masih banyak SMK yang belum dikatakan layak
sebagai penyelenggara program pendidikan kejuruan, terutama bagi SMK yang belum
terakreditasi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas SMK masih perlu ditingkatkan
sehingga lulusan yang dihasilkan dapat menjadi tenaga kerja yang berkualitas
pula.
Dalam
proses akreditasi SMK saat ini perlu ada pembenahan. Dimana instrumen-instrumen
yang tertuang dalam penilaian akreditasi SMK dinilai ‘belum relevan’ dengan
kebutuhan DU/DI. Dalam proses perumusan instrumen akreditasi dan penilaian akreditasi,
tidak ada keterlibatan DU/DI. Bisa jadi, SMK yang memperoleh akreditasi A belum
tentu dianggap layak sesuai dengan kebutuhan DU/DI.
Sementara,
belum optimalnya sistem standarisasi yang ditetapkan oleh Kemdikbud sehingga
membuat kurang relevannya antara penerapan pendidikan kejuruan di SMK dengan
kebutuhan DU/DI. Baik dari segi kurikulum dan sistem pembelajaran, maupun
fasilitas praktik di SMK.
Kurikulum
SMK perlu ada penyelarasan (link and
match) dengan kebutuhan DU/DI, terutama dalam menentukan standar kompetensi
yang akan ditempuh oleh siswa. Sistem pembelajaran di SMK juga selama ini masih
dinilai belum link and match dengan
kebutuhan DU/DI, baik secara teori maupun praktik. Sementara fasilitas praktik
di SMK sampai saat ini juga masih banyak yang kurang relevan dengan kebutuhan
DU/DI. Apalagi bagi SMK yang masih baru berdiri sehingga fasilitas praktik
belum memadai.
Program
sertifikasi bagi lulusan SMK dan guru produktif juga sampai saat ini belum
diterapkan secara optimal. Masih banyak lulusan SMK yang tidak mempunyai
sertifikasi sehingga mereka belum bisa terserap oleh DU/DI. Untuk itu,
sertifikasi bagi lulusan SMK sangat diperlukan dalam rangka pengakuan
kredibilitas sebagai tenaga kerja terampil. Disisi lain, masih banyak guru
produktif yang belum kompeten dengan bidang keahlian yang diajarkan. Sebab,
belum adanya sertifikasi bagi guru produktif sebagai bukti kelayakan menjadi
guru yang berkompeten.
SINERGITAS PUBLIK
Kini
Kemdikbud perlu berupaya semaksimal mungkin dalam melakukan sinergitas dengan publik,
terutama dengan lembaga pemerintah lainnya, baik kementerian maupun
non-kementerian serta pemerintah provinsi. Sinergitas antar-lembaga ini dilakukan
dalam rangka penguatan pendidikan kejuruan melalui revitalisasi SMK sehingga
lulusan SMK dapat menjadi tenaga terampil dan dapat terserap oleh pasar kerja.
Hal
ini sesuai dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK. Dimana
Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada 12 menteri, 1 lembaga
non-kementerian, serta 34 gubernur untuk saling bersinergi dalam rangka
meningkatkan kualitas dan daya saing SDM Indonesia.
Bentuk
upaya yang segera dilakukan Kemdikbud adalah melakukan sinergitas dengan BNSP
dalam rangka mempercepat pemberian lisensi pada LSP-P1 dan juga memberikan
sertifikasi bagi guru produktif. Sehingga LSP-P1 dapat memberikan sertifikasi
bagi lulusan SMK melalui TUK pada LSP-P1 yang diselenggarakan oleh SMK Rujukan.
Sertifikasi bagi lulusan SMK dinilai sangat penting sebagai pengakuan
kredibilitas sebagai tenaga kerja terampil di pasar kerja.
Sementara,
Kemdikbud melalui pemerintah provinsi juga perlu bersinergi dengan lembaga
pemerintah melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait dalam rangka mengembangkan
SMK unggulan berbasis potensi daerah. Keberadaan SMK unggulan sangat diperlukan
berdasarkan potensi daerah yang dimiliki sehingga dapat meningkatkan produk
unggulan dan juga peluang kerja di daerah.
Pelibatan
DU/DI sangat diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan di SMK. DU/DI
dituntut untuk lebih berperan aktif dalam menentukan, mendorong, dan
menggerakan pendidikan kejuruan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai
dengan evaluasi pendidikan. Sebab, mereka adalah pihak yang lebih
berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja. Oleh sebab itu, Kemdikbud
melalui sekolah
diharapkan perlu melibatkan DU/DI, terutama berkaitan dengan penyusunan dan
penyempurnaan kurikulum, pemenuhan guru produktif, dan pemenuhan fasilitas SMK.
Dalam
proses penyusunan dan penyempurnaan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan
DU/DI. Tentunya DU/DI perlu terlibat dalam proses tersebut sesuai dengan
standar SKKNI, SI, serta SKK. Disisi
lain, sistem pembelajaran yang diterapkan harus mengacu pada tuntutan DU/DI
dengan berbasis kompetensi. Salah satu
upaya yang perlu diterapkan adalah melalui sistem pembelajaran teaching factory.
DU/DI juga perlu dilibatkan dalam
memenuhi kebutuhan guru produktif yang sampai saat ini dinilai masih minim. Guru
produktif yang sudah ada perlu mengikuti proses magang pada DU/DI sehingga
kualitas guru produktif dapat meningkat dan konsep pengajarannya pun akan
relevan dengan sistem kerja yang dibutuhkan DU/DI.
Selain
itu, dalam rangka pemenuhan guru produktif juga dapat dilakukan oleh karyawan
purnabakti pada DU/DI. Hal ini sesuai dengan Permenperin Nomor 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan SMK Berbasis Kompetensi yang Link and Match dengan Industri. SMK
dapat memanfaatkan karyawan purnabakti dari perusahaan industri dan/atau
perusahaan kawasan industri yang memiliki kesesuaian kompetensi sebagai guru
produktif di SMK.
Agar fasilitas SMK relevan dengan
kebutuhan DU/DI, baik bengkel maupun peralatan pendidikan kejuruan. Sekolah
juga perlu melibatkan DU/DI sebagai penyedia fasilitas praktik di SMK. DU/DI
juga berwenang menguji kelayakan fasilitas praktik yang ada di sekolah sehingga
dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh DU/DI.
Dalam proses akreditasi SMK, DU/DI
juga perlu dilibatkan baik dalam proses penyusunan instrumen penilaian sesuai
dengan pedoman Standar Nasional Pendidikan (SNP) maupun dalam proses penilaian
akreditasi sebagai asesor. Sehingga penilaian akreditasi SMK akan selaras
dengan penilaian kelayakan oleh DU/DI.
Sinergitas antara Kemdikbud dengan publik,
terutama dengan lembaga pemerintah serta pemerintah provinsi sangat diperlukan dalam
rangka revitalisasi SMK. Disamping itu, DU/DI juga perlu
terlibat aktif dalam proses pendidikan kejuruan sehingga sistem pembelajaran dapat
relevan sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Jika hal ini dapat diterapkan
secara optimal, tentunya akan berdampak pada terciptanya lulusan SMK sebagai
tenaga kerja terampil serta terserapnya lulusan SMK oleh DU/DI. Secara
otomatis, angka TPT dari lulusan SMK pun dapat terminimalisir.
0 komentar:
Posting Komentar