Pesatnya perkembangan tekonologi saat ini ternyata tidak mudah
dimanfaatkan secara tepat oleh masyarakat selaku pengguna internet. Apalagi budaya
literasi di Indonesia sudah banyak dengan berbagai konten media sosial yang
tersedia daripada media cetak atau media elektronik. Sebab media sosial dinilai
lebih mudah, cepat, dan efisien untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dalam memperoleh
informasi/berita teraktual maupun viral.
Menurut data dari APJII
(Asosiasi Penyelengara Jasa Internet Indonesia). Tingkat penggunaan internet di
Indonesia sampai dengan tahun 2016 mencapai 132 juta pengguna. Beberapa konten media sosial yang sering
dikunjungi di Indonesia, seperti facebook 54%, instagram 15%, dan sisanya
seperti twitter, youtube, google plus, linkedIn, Flickr, dan konten media
sosial lainnya.
Sejatinya masyarakat sebagai pengguna internet dengan leluasa dapat
mengkonsumsi berbagai informasi/berita yang mereka butuhkan, baik melalui konten
media sosial maupun grup aplikasi chatting
seperti WhatsApp, BlackBerry, Messenger, dan grup aplikasi lainnya. Namun, kini
tidaklah demikian. Sebab banyak berita yang beredar di media
sosial tetapi belum bisa dipastikan kebenarannya.
Pemanfaatan internet melalui
media sosial seringkali disalahgunakan oleh opnum yang tidak
bertanggung jawab untuk memprovokasi keadaan dengan mengedarkan berbagai berita
bohong/palsu atau yang sering orang bilang sebagai berita hoax. Hal inilah yang
kini menjadi persoalan yang cukup serius di Indonesia.
Menurut data dari CNN Indonesia yang telah
dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) selama
tahun 2016. Terdapat 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai
penyebar berita hoax dan ujaran kebencian (hate speech). Kemkominfo juga
sudah memblokir 773 ribu situs berdasar pada 10 kelompok. Kesepuluh kelompok
tersebut di antaranya mengandung unsur pornografi, SARA, penipuan/dagang
ilegal, narkoba, perjudian, radikalisme, kekerasan, anak, keamanan internet,
dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Dampak
Negatif Hoax
Berita hoax tentunya akan memberikan dampak negatif
bagi kehidupan di masyarakat, diantaranya adalah ujaran kebencian, pencemaran
nama baik, pemutarbalikan fakta, pelecehan, adu domba, ancaman, penipuan,
fitnah, provokasi, terorisme, serta berkaitan dengan unsur SARA (Suku, Agama,
Ras, dan Adat istiadat) yang dapat menjadi pemicu pecahnya kesatuan dan persatuan
bangsa Indonesia. Namun sayangnya hingga kini masih banyak orang yang mudah
percaya dengan pemberitaan palsu/hoax yang kian beredar.
Menurut Laras Sekarasih,
PhD., dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa secara
psikologi, ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang cenderung mudah
percaya pada berita hoax. Pertama, karena lebih cenderung percaya berita hoax jika
informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki, Hal ini dipengaruhi
oleh adanya perasaan terafirmasi dan juga anonimitas berita hoax itu sendiri.
Dan kedua adalah karena terbatasnya pengetahuan yang dimiliki.
Berita hoax yang kini menyebar secara luas di
media sosial ternyata hampir tidak dapat difilter secara baik. Pengguna internet melalui media sosial dengan
bebas mengedit, menambahkan, bahkan memodifikasi konten baik text, foto, atau
gambar. Hal
inilah yang membuat masyarakat menjadi resah dan kadang membuat ‘emosi sesaat’
manakala membaca dan mendengar berita yang tidak akurat pembuktiannya.
Kasus ini sering terjadi
ketika seseorang membaca sebuah berita yang sedang viral dan langsung di share kepada pihak lain tanpa ditklarifikasi
terlebih dahulu kebenarannya. Hal ini sangat berbahaya dan tentunya akan menimbulkan
reputasi buruk bagi seseorang maupun pihak/kelompok lain.
Kepala
Subdirektorat IT dan Cyber Crime Bareskrim, Kombes Pol. Himawan Bayu Aji. Restorative justice bisa dilakukan terhadap
pelaku yang hanya ikut menyebarkan berita hoax atau ujaran
kebencian tetapi tidak menjadi
viral. Tetapi dengan kewajiban pelaku meminta maaf dan menghapus kontennya.
Selain itu, pelaku juga diajak menjadi agen Polri untuk memerangi hoax. Pelaku
harus mengedukasi komunitas di sekitarnya bahwa hal yang dia
sebarkan salah.
Identifikasi
Hoax
Semakin beredarnya berita
hoax yang kian beredar, tentunya masyarakat sebagai konsumen berita harus lebih
waspada dan cermat dalam memilah mana berita fakta dan mana berita hoax agar
tidak mudah percaya. Ada beberapa langkah yang mungkin dapat diterapkan oleh
masyarakat sebagai pengguna internet melalui media sosial agar dapat
mengidentifikasi bahwa berita itu fakta atau hoax.
Pertama,
amati judul yang bersifat provokatif. Jangan mudah percaya dengan judul yang dapat
menimbulkan pembaca lebih tertarik. Berita hoax kerapkali membubuhi judul yang sensasional.
Namun
saat dibaca, ternyata kontennya hanya biasa saja bahkan tidak sesuai dengan
judul. Jadi, pembaca perlu memperhatikan hal tersebut agar tidak langsung
menganggap bahwa judul yang sensasional memiliki konten berita
yang akurat.
Kedua, amati alamat
sumber berita. Apakah sumber berita itu dari situs website resmi atau tidak. Sebab menurut
catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 yang mengklaim atau mengaku
sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, situs berita resmi yang sudah
terverifikasi tidak sampai 300 situs. Berarti sekitar puluhan ribu situs berita
dapat berpotensi untuk memberikan berita hoax yang beredar di internet. Cara
termudah menguji keakuratan sumber berita yang dibaca yaitu dengan penggunaan Hoax
Analyzer pada aplikasi penjelajah.
Ketiga, amati
keaslian gambar/foto. Bukan hal yang sulit pada era digital
ini untuk memanipulasi gambar/foto bahkan memang ada aplikasi khusus yang
digunakan untuk memanipulasi gambar/foto tetapi tidak digunakan dengan bijak
oleh oknum untuk melakukan hal yang tidak bertanggung jawab. Cara termudah
menguji keakuratan foto/gambar yang diterima yaitu dengan penggunaan Google
Images atau Hoax Analyzer pada aplikasi penjelajah.
Keempat, amati konten
berita. Berita hoax pastinya didominasi berisi opini
dari pihak yang hanya memprovokasi situasi saja, terutama dari sudut sosial maupun
politik. Pembaca agar tidak menelan mentah-mentah ucapan seorang narasumber
yang dikutip oleh situs berita. Sering kali hal itu luput dari pembaca karena
pembaca terlalu cepat mengambil kesimpulan. Semakin banyak fakta yang termuat
di sebuah berita, maka semakin akurat berita tersebut. Jadi, jangan mudah
tertipu manakala terdapat pemberitaan yang bukan fakta, artinya hanya opini
belaka.
Pengalaman
Pribadi
Berita hoax kerapkali
berdampak fatal. Apalagi bagi kalangan masyarakat yang memiliki pengetahuan
rendah sehingga akan mudah percaya dengan pemberitaan hoax yang kian beredar
tanpa adanya mengklarifikasi kebenarannya.
Sebagai contoh berita hoax
yang pernah terjadi dan dialami oleh penulis sekitar bulan Maret tahun 2017.
Dimana telah beredar di daerah pantura, khususnya Tegal, Brebes, Pemalang, dan
sekitarnya mengenai penculikan anak untuk dijual organ tubuhnya dengan modus
pelaku berpura-pura menjadi orang gila atau pengemis Berita hoax ini dinilai
sangat meresahkan masyarakat hingga mereka kerapkali mencurigai setiap pengemis
atau gelandangan yang berada di daerah tersebut.
Namun ironisnya, pihak
kepolisian setempat belum pernah menerima laporan resmi berkaitan dengan kasus
penculikan anak yang dilakukan oleh orang gila atau pengemis. Bahkan pihak
kepolisian juga sudah memberitahukan agar masyarakat jangan mudah terpengaruh
oleh kasus yang belum jelas kebenarannya ini.
Kemudian penulis mencoba
mengklarifikasi berita tersebut pada situs www.turnbackhoax.id
dengan url https://www.turnbackhoax.id/2017/03/30/hoax-penculikan-anak-untuk-jual-organ-tubuh/ .
Ternyata memang benar, bahwa Kapolri, Jenderal Tito Karnavian menegaskan bahwa
kasus penculikan anak untuk dijual organ tubuhnya adalah berita hoax.
Upaya
Edukasi kepada Siswa, Guru, dan Kolega dalam Memerangi Hoax
Upaya edukasi yang tepat kepada
masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh keberadaan berita hoax yaitu
dengan penerapan literasi media. Literasi media bertujuan untuk menjadikan
individu menjadi ‘melek media’ atau dapat diartikan dapat memiliki
pemahaman dan kecakapan atas akses, pengetahuan, dan sikap terhadap suatu media
yang digunakan.
James W Potter (2005)
mendefinisikan literasi media sebagai satu perangkat perspektif dimana seseorang
secara aktif memberdayakan dirinya sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan yang
kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya.
Literasi media dapat dilakukan kepada masyarakat, baik
siswa, keluarga, maupun kolega, baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga.
Sehingga media sosial yang digunakan akan jauh lebih sehat dengan konten-konten
positif. Jika literasi media
dapat diterapkan secara efektif, maka tidak hanya membawa manfaat bagi diri
sendiri tetapi juga bagi komunitas dan lebih dari itu bermanfaat bagi bangsa
dan negara.
Pada
penerapan di sekolah, peran guru sangat menentukan keberadaan siswa. Guru harus
dapat memberikan edukasi kepada siswa secara luas mengenai cara
mengidentifikasi, dampak negatif, dan cara memerangi berita hoax melalui budaya
literasi media. Guru dan siswa perlu dibiasakan untuk sering
membaca berita pada media cetak, seperti koran, majalah, dan buku bacaan
lainnya yang ada di perpustakaan agar mereka memiliki pengetahuan yang lebih
luas dan juga mengasah pola pikir yang lebih kritis dalam menerima berita viral
yang kian beredar. Siswa juga perlu dibekali dengan pembuatan artikel/poster
mengenai informasi atau opini yang dapat dituangkan pada majalah dinding di
sekolah.
Peran edukasi antar-kolega/guru
juga dituntut untuk meningkatkan profesionalisme melalui pembiasaan menulis
artikel/karya ilmiah mengenai opini dari pemberitaan viral yang kian beredar.
Hal ini sangat ditekankan agar dapat mengasah pola pikir guru untuk berpikir
lebih kritis. Jika guru semakin sering untuk melakukan budaya literasi media,
tentunya guru tidak akan mudah terprovokasi dengan keberadaan berita hoax.
Peran orang tua di lingkungan
keluarga juga dinilai sangat penting dalam rangka memberikan edukasi kepada
anak mengenai pencerahan berita hoax. Salah satunya dengan melakukan perhatian
dan pengawasan yang lebih agar anak tidak secara bebas menggunakan internet baik
di komputer maupun di gadget yang kini mudah dijangkau. Orang tua juga
sebaiknya memperhatikan batasan usia dalam menggunakan media sosial. Selain
itu, orang tua juga perlu memberi edukasi kepada anak terkait apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan di media sosial.
Untuk itu, masyarakat
sebagai konsumen berita harus selalu berhati-hati terhadap berita yang cepat beredar.
Sebab, semakin berkembangnya TIK melalui pemanfaatan media sosial, ternyata
dampak bagi masyarakat tidak hanya menjadi semakin cerdas tetapi juga dapat
menjadi ‘kebodohan masal’.
Dengan literasi media, tentunya
masyarakat akan menjadi seseorang yang mempunyai pengetahuan luas, mampu
menganalisis, menilai, dan mampu untuk berpendapat secara kritis atas berita
yang diperoleh. Sehingga masyarakat selaku pengguna internet tidak lagi memanfaatkan
media sosial sebagai hal yang negatif. Begitu juga masyarakat sebagai pembaca
agar tidak mudah terbawa arus dengan beredarnya berita hoax. Konsep ‘saring
sebelum sharing’ perlu diterapkan
bagi masyarakat sebagai pengguna media sosial yang bijak agar senantiasa tidak
terjadi lagi perpecahan kesatuan dan persatuan bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar