Dengan pendekatan ini kaum absolutis
membangun matematika formal yang dianggapnya sebagai netral dan bebas
nilai (Shirley, 1986). Hal-hal yang terikat dengan implikasi sosial dan
nilai-nilai yang menyertainya, secara eksplisit, dihilangkannya.
Para absolutis teguh pendiriannya dalam
memandang secara objektif kenetralan matematika formal. Tetapi dalam
kenyataannya, nilai-nilai yang terkandung dalam hal-hal tersebut di
atas, membuat masalah-masalah tidak dapat dipecahkan. Hal ini
disebabkan karena mendasarkan hal-hal yang bersifat formal saja hanya
dapat menjangkau pada pembahasan bagian luar dari matematika itu
sendiri.
Matematika yang dipromosikan itu
sendiri secara implisit sebetulnya mengandung nilai-nilai. Abstrak
adalah suatu nilai terhadap konkret, formal suatu nilai terhadap
informal, objektif terhadap subjektif, pembenaran terhadap penemuan,
rasionalitas terhadap intuisi, penalaran terhadap emosi, hal-hal umum
terhadap hal-hal khusus, teori terhadap praktik, kerja dengan pikiran
terhadap kerja dengan tangan, dan seterusnya.
Jika berkehendak menerima kritik yang
ada, sebetulnya pandangan mereka tentang matematika formal yang netral
dan bebas nilai juga merupakan suatu nilai yang melekat pada diri
mereka dan sulit untuk dilihat.
Kaum social constructivits memandang
bahwa matematika merupakan karya cipta manusia melalui kurun waktu
tertentu. Semua perbedaan pengetahuan yang dihasilkan merupakan
kreativitas manusia yang saling terkait dengan hakikat dan sejarahnya.
Akibatnya, matematika dipandang sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang terikat dengan budaya dan nilai penciptanya
dalam konteks budayanya.
Sejarah matematika adalah sejarah
pembentukannya, tidak hanya yang berhubungan dengan pengungkapan
kebenaran, tetapi meliputi permasalahan yang muncul, pengertian,
pernyataan, bukti dan teori yang dicipta, yang terkomunikasikan dan
mengalami reformulasi oleh individu-individu atau suatu kelompok dengan
berbagai kepentingannya.
Pandangan demikian memberi konsekuensi
bahwa sejarah matematika perlu direvisi. Dengan demikian, pemikiran
kaum social constructivist mengarah kepada kebutuhan matematika
material.
Kaum absolutis berpendapat bahwa suatu
penemuan belumlah merupakan matematika dan matematika modern merupakan
hasil yang tak terhindarkan.
Namun, bagi kaum ‘social
constructivist’ matematika modern bukanlah suatu hasil yang tak
terhindarkan, melainkan merupakan evolusi hasil budaya manusia.
Joseph (1987) menunjukkan betapa
banyaknya tradisi dan penelitian pengembangan matematika berangkat dari
pusat peradaban dan kebudayaan manusia.
Sejarah matematika perlu menunjuk
matematika, filsafat, keadaan sosial dan politik yang bagaimanakah yang
telah mendorong atau menghambat perkembangan matematika.
Sebagai contoh, Henry dalam Ernest
(1991: 34) mengakui bahwa calculus dicipta pada masa Descartes, tetapi
dia tidak suka menyebutkannya karena ketidaksetujuannya terhadap
pendekatan infinitas.
Restivo, MacKenzie dan Richards dalam
Ernest (1991 : 203) menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara
matematika dengan keadaan sosial; sejarah sosial matematika lebih
tergantung kepada kedudukan sosial dan kepentingan pelaku dari pada
kepada objektivitas dan kriteria rasionalitasnya.
Kaum social constructivist berangkat
dari premis bahwa semua pengetahuan merupakan karya cipta. Kelompok ini
juga memandang bahwa semua pengetahuan memiliki landasan yang sama,
yaitu ‘kesepakatan’.
Baik dalam hal asal-usul maupun
pembenaran landasannya, pengetahuan manusia memiliki landasan yang
merupakan kesatuan, dan oleh karena itu semua bidang ilmu pengetahuan
manusia saling terikat satu dengan yang lain.
Akibatnya, sesuai dengan pandangan kaum
social constructivist, matematika tidak dapat dikembangkan jika tanpa
terkait dengan pengetahuan lain, dan yang secara bersama-sama memunyai
akarnya.
Dengan sendirinya matematika tidak
terbebaskan dari nilai-nilai dari bidang pengetahuan yang diakui karena
masing-masing terhubung olehnya.
Karena matematika terkait dengan semua
pengetahuan diri manusia (subjektif), jelaslah bahwa matematika tidak
bersifat netral dan bebas nilai.
Dengan demikian matematika memerlukan landasan sosial bagi perkembangannya (Davis dan Hers dalam Ernest 1991 : 277-279).
Dengan demikian hakikat mempelajari
matematika adalah mempertemukan pengetahuan subjektif dan objektif
matematika melalui interaksi sosial untuk menguji dan merepresentasikan
pengetahuan-pengetahuan baru yang telah diperolehnya.
Di dalam usahanya untuk memperoleh atau
mempelajari pengetahuan objektif matematika, siswa mungkin perlu
mengembangkan prosedur, misalnya : mengikuti langkah yang dibuat orang
lain, membuat langkah secara informal, menentukan langkah awal,
menggunakan langkah yang telah dikembangkan, mendefinisikan langkah
sehingga dapat dipahami orang lain, membandingkan berbagai langkah, dan
menyesuaikan langkah.
Melalui langkah-langkah demikian, siswa
akan memperoleh konsep matematika yang telah teraktualisasi dalam
dirinya sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan matematikanya
bersifat subjektif.
Namun, dalam beberapa hal, pengetahuan subjektif matematikanya belum tentu sesuai dengan pengetahuan objektifnya.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan
subjektif matematikanya telah sesuai dengan pengetahuan objektifnya,
siswa perlu diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan publikasi.
Kegiatan publikasi matematika dalam
praktiknya dapat berupa tugas-tugas yang diberikan oleh guru, pekerjaan
rumah, membuat makalah, atau pun mengikuti ujian.
Interaksi sosial di antara para siswa
dan guru akan dapat memberikan kegiatan kritisisasi untuk pembetulan
konsep-konsep sehingga siswa akan memperoleh perbaikan konsep, dan
akhirnya pengetahuan subjektif matematikanya telah sama dengan
pengetahuan objektifnya.
Sumber: Marsigit, Dosen Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA - UNY
0 komentar:
Posting Komentar