Sejatinya pendidikan hadir tidak hanya untuk mengubah ketidaktahuan menjadi pengetahuan, namun juga mengubah dari keburukan menjadi kebaikan. Sebagai wujud perhatian orang tua akan pendidikan anak, setiap orang tua tentunya berpikir dengan menyekolahkan anaknya maka mereka akan memperoleh pengetahuan yang lebih luas serta perilaku yang lebih baik. Mungkin juga orang tua berpikir dengan anak berada di sekolah, anak akan dapat belajar secara aman, nyaman, dan terkendali dengan mempercayakan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah.
Sungguh
disayangkan, kini generasi muda terutama siswa mengalami “degradasi moral”
dengan karakter yang tidak sepatutnya dimiliki. Mereka semakin kehilangan
karakter yang baik dan menjelma menjadi generasi yang “sakit”. Kian mengikisnya
karakter anak sehingga mereka kurang menganggap orang tua dan guru sebagai
sosok yang dihargai.
Tidak bisa
dielakkan jika kasus kekerasan anak di sekolah kini marak terjadi di Indonesia.
Kasus kekerasan beragam bentuknya, seperti pelecehan, perundungan (bullying), penganiayaan, perkelahian,
perpeloncohan, pencabulan, pemerasan, serta kekerasan lainnya. Kasus yang
sedang marak terjadi di sekolah dan menujukkan kasus tertinggi dengan pelaku si
anak adalah kasus bullying, baik
terhadap siswa lain maupun guru. Kian
maraknya kasus bullying terjadi di
sekolah menunjukkan suatu “anomali” dari konsep pendidikan karakter yang
sejatinya semakin ditekankan dalam revisi kurikulum 2013.
Menurut
komisioner bidang pendidikan pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
Retno Listyarti. Kekerasan di satuan pendidikan cukup tinggi, baik yang
dilakukan guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, maupun siswa terhadap siswa
lainnya. Kasus kekerasan di sekolah per tanggal 30 Mei 2018 berjumlah 161
kasus. Rinciannya yaitu anak korban tawuran sebanyak 23 kasus (14,3%), anak
pelaku tawuran sebanyak 31 kasus (19,3 %), anak korban bullying sebanyak 36 kasus
(22,4 %). Untuk kasus anak pelaku bullying
sebanyak 41 kasus (25,5%), dan anak korban kebijakan (pungli, dikeluarkan dari
sekolah, tidak boleh ikut ujian, serta putus sekolah) sebanyak 30 kasus (18,7%).
Contoh kasus yang
sangat viral terjadi pada bulan Februari 2018. Dimana kasus yang dikejutkan
dengan penganiayaan berujung maut dengan faktor ketidakterimaan siswa dihukum
oleh guru. Kasus ini yang dilakukan oleh seorang siswa berinisial HI (17)
terhadap gurunya, Ahmad Budi Cahyono (26) di SMAN 1 Torjun, Sampang, Madura,
Jawa Timur. Sementara kasus lain tentang pembunuhan terhadap temannya di SMA
Taruna di Magelang, Jawa Tengah. Kasus meninggalnya siswa bernama Kresna Wahyu
Nurachmad (15) pada bulan Maret 2017 karena faktor dendam yang oleh tersangka
berinisial AMR (16).
Jika
ditelusuri, faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan di sekolah dengan
pelaku siswa pada umumnya sama yaitu siswa yang tidak terima dengan perlakuan
guru atau temannya sehingga emosinya tersulut. Emosi yang tidak dapat
terkendali sehingga membuat siswa berani berbuat nekat, bahkan hingga berujung
kematian. Tindakan agresif inilah yang perlu diminimalisir oleh orang tua dan
guru agar anak jangan sampai terbawa emosi yang lebih tinggi.
Penguatan
Peran Publik
Salah satu
negara terbaik dalam penerapan sistem pendidikan di dunia adalah Finlandia.
Finlandia sangat sukses dalam meredam kasus kekerasan di dunia pendidikan
dengan program Kiva Anti-Bullying.
Program tersebut menekankan cara untuk berempati, menumbuhkan kepercayaan diri,
dan mendukung para korban kekerasan bangkit dari trauma.
Sebagai
contoh, jika ada teman sekolah yang kesusahan di ekonomi, maka teman lainnya
akan membantu dengan memberikan sumbangan agar anak tersebut agar tidak sampai
melakukan pencurian atau bahkan memalak karena kondisi ekonomi. Bahkan hubungan
antara siswa, guru, orang tua, dan masyarakat perlu dipertimbangkan dalam
pengembangan program disiplin dan pengawasan agar kekerasan tidak akan muncul
kembali.
Sekolah-sekolah
di Finlandia melibatkan orangtua dalam proses pendidikan anak. Di setiap awal
tahun ajaran baru, orangtua mendapatkan informasi lengkap tentang materi dan
kegiatan yang akan dilakukan anak mereka selama setahun. Setiap anak akan
diberi lesson plan tersendiri, tidak sama dengan teman-temannya. Hal itu
disebabkan setiap anak punya kebutuhan berbeda dengan anak lainnya.
Tidak
hanya itu, saran dan masukan orangtua juga sangat dipertimbangkan karena
sekolah sadar bahwa orang yang paling mengerti si anak ialah orangtuanya.
Bahkan saat sekolah ingin mengambil keputusan tentang pencapaian dan
penempatan kelas seorang anak, keputusan orangtualah yang menjadi penentu
akhir.
Namun
begitu, pihak sekolah tetap memberikan saran, gambaran, dan berbagai
pertimbangan lainnya. Hal itu sangat bertolak belakang dengan kondisi di
Indonesia karena sekolah terlalu sering dan merasa paling tahu tentang pencapaian
seorang siswa.
Sebenarnya
sistem pendidikan di Indonesia sudah mengatur bentuk larangan kekerasan anak
yang terjadi di sekolah, baik yang dilakukan guru terhadap siswa, siswa
terhadap guru, atau siswa terhadap siswa lain. Aturan tersebut sudah tertuang
dalam pasal 9 ayat 1a Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014 bahwa
setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik,
psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik,
tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Ketika orang
bertanya kekerasan di dunia pendidikan itu salah siapa, maka ini bukanlah
saatnya untuk menyalahkan satu pihak. Siapapun yang bersalah itu sebenarnya
adalah tanggung jawab semua pihak untuk mencegah dan menanggulangi kasus
kekerasan anak yang terjadi di sekolah. Ada beberapa langkah konkret dalam
mencegah kasus bullying yang kian marak terjadi di sekolah.
Pertama, penguatan peran publik dalam pelaku
pendidikan di sekolah. Peran publik dalam hal ini elemen masyarakat, baik
secara perseorangan maupun kelompok seperti lembaga perlindungan anak, lembaga
kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media
massa, dan dunia usaha perlu dioptimalkan dalam rangka perlindungan anak
melalui pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah. Keterlibatan elemen
masyarakat dalam hal pengawasan, pencegahan, serta penganggulangan kekerasan
anak di sekolah dapat dilakukan melalui peran serta mitra sekolah, seperti Komisi
Perlindungan Anak Indonesia di Daerah (KPAID) maupun Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Namun, sayangnya KPAID dan P2TP2A hingga
saat ini belum optimal terbentuk di seluruh daerah sehingga perlindungan anak
di daerah kurang teratasi.
Dalam pasal 7
Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di
Lingkungan Satuan Pendidikan. Disebutkan bahwa pencegahan tindak kekerasan di
lingkungan satuan pendidikan dilakukan oleh peserta didik, orangtua/wali
peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, komite
sekolah, masyarakat, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan
pemerintah sesuai dengan kewenangannya.
Kurangnya
penanaman karakter dan moralitas dalam pendidikan anak hingga lemahnya sistem
pengawasan di sekolah menjadi akar dari semua masalah kekerasan. Tentunya perlu
dibutuhkan penanganan secara optimal dari berbagai pihak agar dapat
meminimalisir kasus kekerasan anak yang kian merebah dalam dunia pendidikan.
Sinergitas
Sekolah-Orang tua
Kedua, penguatan sinergitas sekolah dengan
orang tua. Guru merupakan pengganti orang tua di sekolah. Konsep dasar itulah tugas
seorang guru sejatinya perlu dihormati. Namun kini realitanya konsep tersebut
kian pudar. Berbagai faktor alasanya karena kesibukan orang tua, minimnya
pengetahuan yang dimiliki orang tua, serta rendahnya pendidikan orang tua. Seolah
orang tua hanya memasrahkan tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya kepada
sekolah. Bahkan hingga biaya pendidikan yang tinggi pun bagi orang tua berani
membayarnya. Namun ketika terjadi persoalan yang menyangkut kenakalan si anak
di sekolah, ada juga orang tua yang tidak terima jika anaknya diberi hukuman.
Contohnya kasus
pemukulan yang dilakukan oleh orang tua siswa bernama Adnan Ahmad terhadap guru
SMKN 2 Makassar bernama Dasrul pada bulan Mei 2017. Adnan Ahmad memukuli Dasrul
hingga mengalami luka-luka dan patah di bagian ujung hidung karena tidak terima
anaknya dihukum oleh gurunya. Fenomena anomali tersebut menandakan bahwa
kurangnya sinergitas pihak sekolah dengan orang tua, dalam hal ini melalui peran
guru.
Sejatinya
orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anaknya. Disamping sekolah,
orang tua juga perlu mendidik anaknya melalui pembinaan dan pembiasaan
pendidikan karakter siswa dalam kehidupan keluarga. Namun, realitanya masih
banyak orang tua yang hanya menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada
sekolah. Tetapi perlu kita sadari bahwa waktu belajar anak di sekolah yang
terbatas, jumlah guru yang terbatas, serta dengan jumlah siswa yang banyak
sehingga sekolah kurang bisa memantau perkembangan karakter anak secara optimal.
Untuk itulah perlu adanya keseimbangan antara sekolah dan peran orang tua dalam
mengembangkan karakter anak.
Lickona dalam
bukunya yang berjudul Character Matter
(2012) mengatakan bahwa meskipun sekolah mampu meningkatkan pemahaman awal para
siswanya ketika mereka ada di sekolah, kemudian bukti-bukti yang ada
menunjukkan bahwa sekolah mampu melaksanakan hal tersebut. Sikap baik yang
dimiliki oleh anak tersebut perlahan akan menghilang jika nilai-nilai yang
diajarkan di sekolah tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan rumah, dalam
hal ini peran orang tua.
Dengan alasan
tersebut, pihak sekolah dan orang tua harusnya seiring dalam menyikapi masalah
yang muncul. Dengan adanya sinergitas antara kedua pihak, kekuatan yang
sesungguhnya dapat dimunculkan untuk meningkatkan nilai karakter anak sebagai
seorang insan yang bermoral. Sinergitas antar sekolah dengan orang tua dapat
dilakukan melalui kerja sama dan koordinasi yang baik antara pihak sekolah
dengan orang tua. Selain itu juga perlu adanya keselarasan cara pandang,
pengasuhan, dan pendidikan yang diberikan oleh orang tua di rumah dengan apa
yang diajarkan oleh guru di sekolah.
Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Brooking Bull dan Campbell (2008) bahwa “The research literature is unequivocal in
showing that parental involvement makes a significant difference to educational
achievement”. Oleh karena itu, faktor sinergitas sekolah dengan orang tua
menjadi sangat penting untuk dapat memoderasi proses pembentukan karakter siswa.
Bagaimanapun,
kasus bullying masih dapat dicegah
dan dihentikan dengan optimalisasi peran orang tua. Dengan menjalin komunikasi yang
baik antara orang tua dengan anak di rumah. Salah satunya dengan menciptakan waktu yang tepat untuk berkomunikasi
dengan anak, seperti ketika anak sudah selesai makan bersama dengan pikiran
yang tenang. Tentunya orang tua dapat mengenali potensi timbulnya suatu masalah
dan membantu anak dalam menghadapai permasalahan yang dihadapinya. Untuk itulah
orang tua perlu mengajari anak untuk dapat merasakan apa yang orang lain
rasakan (put him/herself in someone else's shoes).
Sebagai orang tua
juga harus terlibat aktif dalam memantau perkembangan karakter anak melalui
komunikasi dengan guru, baik secara langsung (hadir ke sekolah) maupun tidak
langsung (media sosial, seperti WhatsApp). Secara tidak langsung orang
tua dapat secara mudah memantau informasi perkembangan karakter anak dan juga
permasalahan anak, serta bimbingan kepada orang tua melalui grup WhatsApp. Sarana komunikasi tersebut
dinilai juga perlu dilakukan agar
informasi dari guru terutama wali kelas dapat diterima secara mudah dan cepat.
Karena
itulah sinergitas antara sekolah
dengan orang tua dalam proses
pendidikan anak di sekolah dinilai sangat penting. Keterlibatan
orang tua dalam proses pendidikan
anak dapat dilakukan melalui rapat komite
sekolah. Dalam kegiatan tersebut, sejatinya
tidak
hanya membahas tentang agenda acara
dan keuangan sekolah saja, melainkan juga
cara
pengawasan, pencegahan, dan penangggulangan kekerasan anak dalam bentuk bullying yang
kini marak terjadi di sekolah. Sementara
keaktivan peran orang tua dalam hal komunikasi dengan guru juga perlu
dioptimalkan dalam rangka memantau perkembangan karakter anak secara berkala.
Jika sinergitas antara
sekolah
dengan orang tua dapat terjalin dengan
baik, tentunya kasus bullying yang dilakukan
oleh siswa di sekolah dapat terminimalisir secara optimal.
0 komentar:
Posting Komentar